Dalam lintasan waktu yang abadi, ada satu kekuatan yang senantiasa mengalir di balik kehidupan: kepercayaan. Sebuah daya halus yang tak tampak oleh mata, namun dapat dirasakan oleh hati yang terbuka. Dalam , menanamkan benih keyakinan ini pada setiap lembar kisah Santiago—bahwa tanpa kepercayaan dan keyakinan, langkah kaki manusia akan goyah di tengah gurun nasib.
Keyakinan bukanlah kepastian yang datang dari bukti. Ia tumbuh dari kehendak untuk tetap melangkah meski mata tak melihat jalan. Dalam diri Santiago, kita menyaksikan seorang pemuda yang tak hanya mengejar mimpi, tetapi juga belajar mempercayai bisikan hatinya, mempercayai bahasa dunia, dan mempercayai tangan tak terlihat yang menuntunnya. Ia percaya pada mimpinya, meski semua orang menyebutnya khayal. Ia percaya pada pertanda, meski tak satu pun tertulis di batu. Dan ia percaya pada kekuatan cinta, meski ia harus berpisah dari Fatima yang dicintainya demi menyelesaikan perjalanannya.
Ketika Santiago kehilangan segala yang ia miliki di negeri asing, ia tak menyerah pada putus asa. Sebaliknya, ia memercayai bahwa ada maksud di balik segala kehilangan. Seperti pohon yang kehilangan daunnya demi menyambut musim semi baru, Santiago belajar bahwa kekosongan pun adalah bagian dari pembentukan. Di situlah letak kekuatan dari kepercayaan sejati—ia tak tumbuh karena jaminan, melainkan karena harapan yang dipelihara dalam kesunyian.
Kepercayaan juga hadir dalam bentuk keikhlasan. Santiago tak memaksa gurun untuk menjadi taman, ia belajar mencintai gurun apa adanya, dan di situlah ia menemukan kedamaian. Ia tak melawan angin, tetapi menyatu dengannya. Dalam proses itu, ia menyadari bahwa keyakinan bukanlah tentang mendominasi dunia, melainkan tentang menyelaraskan diri dengan irama alam semesta.
Alkemis yang ditemui Santiago di tengah perjalanan adalah lambang dari kebijaksanaan yang muncul dari keyakinan yang telah teruji waktu. Ia mengajarkan bahwa emas tak akan lahir tanpa proses panjang, seperti jiwa tak akan menemukan cahaya sejati tanpa pembakaran batin. Dan bahwa ketika kita benar-benar percaya, kita bisa menjadi angin, bisa berbicara dengan matahari, bahkan menyentuh wajah Tuhan.
Di dunia yang penuh kebisingan dan keraguan, mengajarkan kita untuk kembali memeluk keheningan dan mendengar suara terdalam kita. Bahwa yang sejati tidak selalu yang terlihat. Bahwa dalam kelembutan hati, ada kekuatan yang sanggup mengguncang semesta. Dan bahwa dalam setiap jiwa yang percaya, tersembunyi kemungkinan-kemungkinan tak terbatas.
Maka, percayalah. Bukan karena segalanya pasti akan berjalan sesuai rencana, melainkan karena dalam setiap keyakinan yang tulus, kita menemukan bagian paling jernih dari diri kita sendiri. Sebuah cahaya kecil yang akan membimbing kita, bahkan di tengah kegelapan paling pekat.

Tinggalkan komentar