Malam telah jatuh di gurun yang sunyi, dan bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya, seakan-akan langit sendiri ingin menyaksikan momen yang tak terlupakan ini. Di tengah hamparan pasir yang tak berujung, Pangeran kecil berdiri di samping sang pilot, wajah mungilnya diterangi cahaya rembulan. Ada ketenangan di matanya, tetapi juga sebuah kesedihan yang dalam, seperti laut yang tenang namun menyembunyikan ombak di dasarnya.

“Kau akan pergi, bukan?” tanya sang pilot, suaranya bergetar halus seperti angin yang menyentuh dahan rapuh. Di balik kata-katanya, ada rasa takut yang ia coba sembunyikan—takut kehilangan sesuatu yang begitu berharga, sesuatu yang telah menghidupkan kembali jiwanya yang lama terdampar.

Pangeran kecil mengangguk pelan. “Aku harus kembali ke planetku,” katanya. “Mawarku menungguku di sana. Aku bertanggung jawab untuknya.”

Kata-kata itu sederhana, namun menusuk hati sang pilot. Ia tahu bahwa cinta dan tanggung jawablah yang mendorong Pangeran kecil untuk pergi, tetapi bagaimana caranya menerima perpisahan ketika hatinya telah belajar untuk mencintai lagi?

“Aku merasa sedih,” bisik sang pilot. “Aku takut akan merasa sendirian lagi.”

Pangeran kecil menatapnya dengan penuh kasih, mata emasnya bersinar lembut. “Kau tidak akan benar-benar sendirian,” katanya. “Setiap kali kau memandang bintang-bintang, ingatlah aku. Di suatu tempat di sana, aku tinggal di salah satu bintang itu. Aku akan tertawa dari bintangku, dan setiap bintang akan seolah-olah tertawa bersamaku. Maka, bagimu, bintang-bintang akan menjadi teman yang selalu tersenyum.”

Sang pilot tersenyum pahit. Air mata mulai menggenang di matanya, memburamkan cahaya malam. “Itu hadiah yang indah,” katanya pelan. “Tetapi hatiku akan tetap merindukanmu.”

“Perpisahan hanya menyakitkan jika kita melupakan,” jawab Pangeran kecil. “Selama kau mengingatku, aku akan selalu ada bersamamu.”

Sang pilot menunduk, menggenggam tangan mungil itu dengan lembut, merasakan kehangatan kecil yang penuh dengan arti. Dalam genggaman itu, ada rasa takut kehilangan, namun juga ada kehangatan dari cinta yang tulus.

Pangeran kecil melangkah menjauh, mendekati tempat di mana ular emas telah menunggunya—simpul kehidupan dan kematian, jalan pulang menuju bintang-bintang. Angin malam berhembus lembut, seakan ingin menunda momen ini, ingin menggenggam waktu agar perpisahan tidak pernah terjadi.

Sang pilot merasa hatinya hancur perlahan. Ia ingin memanggil Pangeran kecil untuk kembali, ingin menghentikannya. Namun ia tahu, cinta sejati tidak bisa menahan apa yang harus dilepaskan.

Pangeran kecil menoleh untuk terakhir kalinya, senyumnya penuh kehangatan dan kedamaian. “Jangan khawatir,” katanya. “Aku akan selalu hidup di hatimu.”

Lalu, dengan langkah ringan namun penuh keberanian, Pangeran kecil mendekati ular itu. Cahaya bintang menyelimuti sosok mungilnya, membawanya kembali ke tempat di mana ia berasal—ke planet kecilnya, ke mawarnya yang rapuh namun penuh cinta.

Sang pilot berdiri di sana, sendirian di tengah gurun yang sunyi. Air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya, bercampur dengan pasir yang dingin. Namun di dalam kesedihan itu, ada kehangatan yang mengalir lembut. Setiap bintang di langit kini bersinar berbeda, seakan-akan semuanya menyimpan tawa kecil dari seorang sahabat yang tidak pernah benar-benar pergi.

Ia menatap langit malam, dan di tengah bintang-bintang yang tak terhitung, ia mendengar gema lembut dari suara Pangeran kecil—sebuah janji bahwa cinta dan kenangan akan selalu hidup, tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan mereka.

Dan di dalam hatinya, ia tahu: perpisahan bukan akhir dari segalanya. Selama ada ingatan dan cinta, selamat tinggal hanyalah awal dari keabadian. ***

Tinggalkan komentar