Di tengah hamparan pasir yang membentang tanpa akhir, di bawah langit yang menyala merah oleh senja yang perlahan meredup, Pangeran kecil dan sang pilot duduk berdampingan. Pesawat rusak tergeletak tak berdaya di dekat mereka, seolah-olah sayapnya telah patah oleh kelelahan dunia. Hanya suara angin lembut yang berdesir di antara mereka, menyanyikan lagu sunyi yang melingkupi keheningan gurun.

Sang pilot, seorang pria dewasa yang hatinya telah lama kering oleh rutinitas dan tanggung jawab, memandang Pangeran kecil dengan penuh rasa ingin tahu. Ada sesuatu dalam diri anak ini—sesuatu yang murni, sesuatu yang ia kira telah hilang selamanya. Pangeran kecil duduk dengan kaki terlipat, matanya menatap jauh ke cakrawala, seakan mencari sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh hatinya.

“Kau tampak sedih,” kata sang pilot, suaranya bergetar seperti bayangan yang tertiup angin.

“Aku merindukan mawarku,” jawab Pangeran kecil dengan nada lirih. “Dan aku juga khawatir. Aku meninggalkannya sendirian di planet kecil itu. Aku bertanggung jawab untuknya, tetapi aku tidak di sana.”

Sang pilot mengangguk pelan, merasakan kerinduan yang menggetarkan jiwanya. Ia mengerti perasaan itu—perasaan kehilangan sesuatu yang begitu berharga, sesuatu yang tak bisa tergantikan. Gurun ini, meskipun luas dan indah dalam kesunyiannya, menjadi lebih dingin dengan kesadaran akan apa yang telah ditinggalkan.

“Cinta itu aneh,” lanjut Pangeran kecil. “Terkadang, kita baru menyadari betapa berharganya sesuatu ketika kita jauh darinya.”

Sang pilot menatap Pangeran kecil, hatinya perlahan-lahan luluh. Selama ini, ia berpikir bahwa kedewasaan berarti meninggalkan impian masa kecil, membangun dinding-dinding logika untuk melindungi diri dari kerapuhan. Tetapi di sini, di tengah gurun yang sunyi, ia merasa dinding itu mulai retak. Kehadiran anak kecil ini, dengan kepolosannya yang penuh kebijaksanaan, membuka kembali pintu yang telah lama terkunci.

“Aku juga merasa sendirian,” kata sang pilot pelan. “Pesawatku rusak, dan aku tak tahu bagaimana memperbaikinya. Kadang-kadang, rasanya seperti hidupku juga rusak.”

Pangeran kecil menatapnya dengan mata penuh kasih, seakan melihat langsung ke dalam hatinya yang rapuh. “Tidak apa-apa merasa sendirian,” katanya. “Tetapi ingatlah, selalu ada sesuatu yang membuat kita terhubung—sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tetapi dirasakan oleh hati.”

Dalam keheningan yang menggantung di antara mereka, sang pilot merasakan air mata yang hampir jatuh. Ia telah lama lupa bagaimana caranya menangis, bagaimana caranya merasa. Tetapi Pangeran kecil telah mengingatkannya bahwa di balik kesunyian, di balik kesendirian, selalu ada cinta yang menanti untuk ditemukan lagi.

Matahari akhirnya tenggelam, mewarnai langit dengan semburat ungu dan emas. Cahaya yang tersisa meredup, meninggalkan kegelapan yang penuh kehangatan. Dua jiwa yang berbeda—seorang pria dewasa dengan hatinya yang terluka, dan seorang anak kecil dengan kerinduannya yang mendalam—duduk berdampingan, saling menemukan penghiburan dalam kesunyian yang sama.

“Aku harus menemukan jalan pulang,” bisik Pangeran kecil, matanya menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan.

Sang pilot tersenyum lemah, hatinya penuh dengan rasa syukur dan duka yang bercampur. “Aku akan membantumu,” katanya. “Kita akan menemukan caranya bersama.”

Dalam momen itu, gurun yang dingin menjadi sedikit lebih hangat. Mereka berdua sadar bahwa meskipun dunia penuh dengan kehampaan, ada titik-titik cahaya kecil yang menyala—cinta, persahabatan, dan keajaiban yang hanya bisa dilihat dengan hati.

Mereka menatap langit, membiarkan bintang-bintang menjadi saksi dari sebuah pertemuan yang mengubah mereka. Dua jiwa yang tersesat kini saling menggenggam, menemukan arti dari cinta dan kebersamaan di tengah kesunyian yang tak berujung. ***

Tinggalkan komentar