Dalam perjalanannya di Bumi yang penuh dengan kesibukan dan keheningan, Pangeran kecil bertemu dengan seorang pria yang duduk di kios kecil. Di hadapannya tertata rapi botol-botol kecil berisi pil-pil berwarna. Wajah pria itu penuh perhitungan, matanya tajam namun kosong, seperti seseorang yang telah lama kehilangan keajaiban hidup.

“Selamat pagi,” sapa Pangeran kecil dengan suaranya yang lembut.

“Selamat pagi,” jawab penjual itu tanpa senyum, tangannya sibuk mengatur botol-botol kecil.

“Apa yang sedang kau jual?” tanya Pangeran kecil dengan rasa ingin tahu.

“Aku menjual pil untuk menghemat waktu,” jawab penjual itu penuh kebanggaan. “Satu pil cukup untuk menghilangkan rasa haus selama seminggu. Dengan menelannya, kau tidak perlu minum, dan kau bisa menghemat lima puluh tiga menit setiap harinya.”

Pangeran kecil memandang penjual itu dengan mata yang membulat penuh keheranan. “Apa yang dilakukan orang-orang dengan waktu yang mereka hemat itu?” tanyanya polos.

“Segala hal yang lebih penting,” jawab penjual dengan nada datar. “Mereka bisa bekerja lebih banyak, melakukan lebih banyak hal, menjadi lebih produktif.”

Pangeran kecil termenung, memikirkan jawaban itu. Menghemat waktu—sebuah gagasan yang tampaknya masuk akal, tetapi terasa begitu kosong. Ia membayangkan lima puluh tiga menit yang dihemat: waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk menikmati segelas air yang segar, merasakan tetesannya menyentuh bibir dan mengalir ke tenggorokannya, menyegarkan tubuh yang letih. Waktu untuk berhenti sejenak, merasakan hidup dengan segala kesederhanaannya.

“Jika aku punya lima puluh tiga menit ekstra,” katanya lembut, “aku akan berjalan perlahan menuju mata air. Aku akan menikmati setiap langkah di perjalanan itu.”

Penjual itu terdiam, seolah-olah kata-kata Pangeran kecil membuka jendela yang telah lama tertutup di hatinya. Dalam keinginannya untuk menghemat waktu, ia lupa bahwa hidup bukanlah tentang seberapa banyak yang bisa dicapai, tetapi tentang seberapa dalam sesuatu bisa dirasakan.

Pangeran kecil menatap pil-pil itu dengan rasa iba. Pil-pil kecil yang menjanjikan waktu lebih, tetapi menghilangkan momen-momen sederhana yang membuat hidup berharga. Apa artinya hidup jika semua yang penting hanya dipadatkan menjadi efisiensi semata?

Ia mengingat planet mungilnya, tempat di mana segala sesuatu dilakukan perlahan dan penuh perhatian. Di sana, ia menyirami mawarnya setiap pagi, menikmati kehangatan matahari yang terbit, dan memandang matahari terbenam berulang kali hanya untuk merasakan keindahannya. Setiap momen kecil itu adalah bagian dari cinta dan kebahagiaannya.

“Orang-orang sering lupa,” pikir Pangeran kecil, “bahwa waktu yang benar-benar berarti adalah waktu yang diisi dengan perasaan dan perhatian.”

Ia berpamitan kepada penjual itu dengan senyum kecil, lalu berjalan pergi, langkahnya ringan namun hatinya dipenuhi pemahaman baru. Di dunia yang selalu ingin bergerak cepat, ia memilih untuk bergerak perlahan, menikmati perjalanan, dan tidak pernah mengorbankan momen-momen kecil yang berharga hanya demi ilusi efisiensi.

Dalam benaknya, gema lembut dari kata-kata rubah kembali menyentuh hatinya: “Hanya dengan hati kita bisa melihat dengan jelas.”

Dan dengan hati itulah, ia memilih untuk selalu menghargai waktu, bukan dengan menghematnya, tetapi dengan mengisinya dengan cinta dan makna yang sesungguhnya. ***

Tinggalkan komentar