Dalam perjalanannya di Bumi, Pangeran kecil tiba di sebuah padang rumput yang luas dan sunyi. Angin berhembus lembut, membawa bisikan-bisikan dari dunia yang terasa begitu besar dan asing. Saat ia merenungkan segala yang telah ia alami, ia melihat sesuatu bergerak di tengah rerumputan—sebuah titik oranye yang berkelip seperti nyala api kecil.
Seekor rubah, dengan bulu yang berkilauan dan mata yang penuh dengan kecerdikan serta kerinduan, muncul dari balik semak. Rubah itu menatap Pangeran kecil dengan rasa ingin tahu yang sama besarnya dengan kesepian yang tersembunyi di matanya.
“Selamat pagi,” sapa Pangeran kecil, suaranya lembut seperti embun pagi.
“Selamat pagi,” jawab rubah itu, suaranya dalam dan penuh makna.
“Siapa kau?” tanya Pangeran kecil.
“Aku seekor rubah,” jawabnya.
“Ayo bermain denganku,” pinta Pangeran kecil dengan penuh harap. “Aku merasa begitu sedih.”
Rubah itu menggelengkan kepalanya perlahan. “Aku tidak bisa bermain denganmu,” katanya. “Aku belum dijinakkan.”
Pangeran kecil mengerutkan kening. “Apa artinya menjinakkan?”
Rubah tersenyum tipis, sebuah senyum yang sarat dengan kesedihan dan kebijaksanaan. “Menjinakkan berarti membangun ikatan. Itu berarti menciptakan hubungan yang membuat kita saling membutuhkan. Jika kau menjinakkanku, kita akan menjadi penting satu sama lain.”
“Aku mulai mengerti,” bisik Pangeran kecil.
Rubah melanjutkan, “Bagiku, kau hanyalah seorang anak kecil seperti ribuan anak kecil lainnya. Dan bagimu, aku hanyalah seekor rubah seperti ribuan rubah lainnya. Tetapi jika kau menjinakkanku, kita akan menjadi satu-satunya di dunia ini bagi satu sama lain.”
Kata-kata itu menyelinap masuk ke hati Pangeran kecil, menggugah sesuatu yang selama ini tertidur. Ia memikirkan mawarnya—bunga yang ia tinggalkan di planet kecilnya. Mawar itu adalah satu-satunya baginya, bukan karena keindahannya, tetapi karena perhatian dan cintanya yang telah ia berikan padanya.
“Apa yang harus kulakukan untuk menjinakkanmu?” tanya Pangeran kecil.
“Kau harus bersabar,” jawab rubah. “Duduklah di dekatku, tetapi jangan terlalu dekat. Setiap hari, kau bisa duduk lebih dekat sedikit. Biarkan aku mengenalmu perlahan, hingga kehadiranmu membuatku nyaman.”
Pangeran kecil mengikuti nasihat rubah itu. Setiap hari, ia datang dan duduk lebih dekat. Mereka berbagi keheningan yang penuh arti, membiarkan waktu menenun benang-benang keakraban yang lembut di antara mereka. Perlahan, hati mereka saling terikat, dan padang rumput yang luas itu tidak lagi terasa sunyi.
Saat akhirnya tiba waktunya untuk berpisah, rubah menatap Pangeran kecil dengan mata yang berkilauan, meskipun ada kesedihan di dalamnya.
“Aku akan menangis,” kata rubah.
“Tapi ini salahmu sendiri,” ujar Pangeran kecil. “Kau meminta untuk kujinakkan.”
“Benar,” jawab rubah, “tetapi aku tetap bahagia. Kau telah mengajarkan kepadaku bahwa keindahan dunia ini terletak pada ikatan yang kita bangun. Sekarang setiap kali aku melihat ladang gandum yang berwarna emas, aku akan mengingat rambutmu yang keemasan.”
Lalu rubah memberinya sebuah rahasia: “Hanya dengan hati kita bisa melihat dengan jelas. Hal-hal penting tak terlihat oleh mata.”
Pangeran kecil merasa hatinya bergetar. Ia tahu bahwa ia telah belajar sesuatu yang sangat berharga—bahwa mencintai berarti menciptakan ikatan, dan ikatan itu membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan. Namun, di dalam kesedihan itu ada makna, dan di dalam makna itulah cinta menemukan bentuknya yang paling murni.
Saat ia melangkah pergi, kenangan tentang rubah dan kata-katanya tinggal bersamanya, seperti nyala api kecil yang terus menyala di dalam hati, memberi cahaya dan kehangatan di tengah perjalanan panjangnya.
Ia tahu bahwa ikatan itu tak akan pernah benar-benar hilang. Cinta sejati adalah jejak yang tak terhapuskan—meski kita harus berpisah, hati yang telah saling menjinakkan akan tetap terhubung, melewati waktu dan ruang. ***

Tinggalkan komentar