Setelah berhari-hari berjalan di Bumi, melalui gurun yang sunyi dan gunung yang menggema hampa, Pangeran kecil tiba di sebuah taman yang menakjubkan. Di hadapannya terbentang lautan mawar yang bermekaran, kelopaknya merah muda, penuh kelembutan dan keindahan yang sempurna. Aroma harum mengalir bersama angin, mengusap wajahnya dengan kelembutan yang menyihir.
Namun, keindahan ini justru mengguncang hati kecilnya. Ia berdiri di tengah taman itu, matanya menatap mawar-mawar yang tak terhitung jumlahnya, sama seperti mawar yang ia tinggalkan di planet mungilnya. Setiap bunga di sini memiliki kelopak yang serupa, warna yang sama, keanggunan yang mirip.
Hatnya bergetar, suara lembutnya berbisik, “Jadi, mawar milikku bukanlah satu-satunya.”
Selama ini, ia percaya bahwa mawarnya adalah satu-satunya di seluruh jagat raya—bunga yang unik, bunga yang tiada duanya. Ia merawatnya dengan penuh cinta, percaya bahwa tidak ada bunga lain yang bisa menyamai keelokannya. Tetapi di sini, di taman yang penuh dengan mawar-mawar serupa, keyakinan itu hancur. Perasaan pahit menjalar di hatinya, seperti bayangan yang menelan cahaya.
Ia duduk di tanah, kepalanya tertunduk, rasa duka membasahi matanya. “Mawarku akan merasa malu jika melihat ini,” gumamnya pelan. “Ia pasti akan marah jika tahu bahwa ada ribuan bunga lain yang serupa dengannya.”
Air mata mulai memenuhi matanya. “Aku hanya punya mawar biasa,” bisiknya, “dan tiga gunung kecil yang bahkan tidak terlalu tinggi.” Ia merasa dirinya begitu kecil, begitu tak berarti. Apa yang ia miliki ternyata tidak seistimewa yang ia kira. Segala cinta dan perhatian yang ia berikan pada mawarnya kini terasa seperti sesuatu yang sia-sia.
Tetapi di tengah kesedihan itu, ia teringat akan kata-kata yang pernah diucapkan oleh rubah: “Hanya dengan hati kita bisa melihat dengan jelas. Hal-hal penting tak terlihat oleh mata.”
Hatinya bergetar. Ia mulai menyadari sesuatu yang dalam. Mawarnya mungkin tampak sama seperti ribuan bunga di taman ini, tetapi hanya ia yang tahu bahwa mawarnya berbeda. Mawar itu telah ia sirami setiap hari, ia lindungi dengan penutup kaca, dan ia jaga dari angin kencang dan ulat yang mengancam kelopaknya. Mawar itu telah memberinya kebahagiaan, kekhawatiran, dan cinta—sebuah ikatan yang tak dimiliki bunga lain di dunia ini.
Ia menatap mawar-mawar di taman itu dengan mata yang basah, tetapi kini penuh dengan pengertian. Keunikan tidak datang dari bentuk atau warna, tetapi dari cinta dan perhatian yang kita berikan. Mawarnya menjadi satu-satunya di seluruh semesta karena ia telah memilih untuk mencintainya.
Hatinya mulai tenang, seperti angin yang mereda setelah badai. Kesedihan yang tadinya menggumpal perlahan memudar. Ia tahu bahwa meskipun ada ribuan mawar di dunia, hanya satu mawar yang benar-benar berarti baginya.
Dengan langkah perlahan, ia berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Di dalam dirinya, ada kerinduan yang lebih dalam dari sebelumnya—kerinduan untuk kembali ke planet mungilnya, ke tempat di mana satu mawar sederhana menunggu, penuh cinta yang tak terlihat oleh mata, tetapi dirasakan oleh hati. ***

Tinggalkan komentar