Setelah meninggalkan planet-planet yang dihuni oleh orang-orang yang sibuk dengan kesia-siaan mereka sendiri, Pangeran kecil tiba di sebuah planet yang tampaknya penuh dengan janji pengetahuan. Planet ini dihuni oleh seorang geografer, seorang pria tua yang duduk di balik meja besar, dikelilingi oleh buku-buku tebal dan peta-peta yang tak terhitung jumlahnya.
Geografer itu menyambut Pangeran kecil dengan sikap serius dan mata yang tajam, seakan-akan mampu melihat ke dalam jantung dunia.
“Selamat pagi,” sapa Pangeran kecil dengan nada penuh harap. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku adalah seorang geografer,” jawab pria itu dengan bangga. “Aku mencatat gunung-gunung, sungai-sungai, laut-laut, dan bintang-bintang. Aku mencatat segala sesuatu yang abadi.”
Mata Pangeran kecil berbinar. Akhirnya, ia bertemu seseorang yang tampaknya memiliki jawaban atas keinginannya untuk memahami dunia. Ia berpikir bahwa geografer ini pastilah telah menjelajahi berbagai tempat yang menakjubkan.
“Apakah kau pernah melihat semua itu?” tanyanya dengan penuh antusias.
Geografer itu terbatuk kecil dan menjawab, “Oh, tidak. Aku tidak pernah meninggalkan planet ini. Aku bukan seorang penjelajah. Aku hanya mencatat laporan dari para penjelajah.”
Pangeran kecil terdiam, kekecewaan mengalir pelan di hatinya. Bagaimana mungkin seseorang yang mencatat tentang keindahan dunia tidak pernah melihatnya sendiri? Bagaimana bisa seseorang berbicara tentang lautan tanpa pernah merasakan ombak yang menyentuh kulitnya, atau mencatat gunung tanpa pernah merasakan dinginnya angin puncak?
“Tapi bagaimana kau tahu laporan mereka benar?” tanya Pangeran kecil dengan polos.
Geografer mengangkat bahu. “Aku hanya mencatat apa yang dilaporkan kepadaku. Aku tidak punya waktu untuk menjelajah. Tugas seorang geografer adalah mencatat, bukan menjelajahi.”
Pangeran kecil merasa hampa. Di ruangan penuh peta dan buku itu, ia merasakan kehampaan yang dingin. Apa gunanya semua pengetahuan ini jika tidak pernah dihidupi? Semua catatan itu tampak seperti cangkang kosong, peta-peta tanpa jiwa yang tidak pernah menyentuh keajaiban dunia nyata.
Dengan suara pelan, ia berkata, “Planetmu sangat luas, tetapi kau tidak pernah melihatnya.”
Geografer itu tidak menjawab, matanya kembali tertuju pada peta-peta yang membisu.
Dalam keheningan itu, Pangeran kecil menyadari sebuah kebenaran yang menyedihkan: Pengetahuan tanpa pengalaman hanyalah sekumpulan kata yang mati. Tanpa rasa ingin tahu, tanpa keberanian untuk menjelajah, hidup akan menjadi tumpukan catatan tanpa makna.
Sebelum pergi, geografer bertanya kepadanya, “Dari mana asalmu?”
“Aku berasal dari sebuah planet kecil,” jawab Pangeran kecil, “dan aku punya bunga.”
Geografer menggelengkan kepala, “Kami tidak mencatat bunga, karena bunga tidak abadi.”
Kata-kata itu menggema di hati Pangeran kecil. Bunga itu mungkin tidak abadi, tetapi cintanya kepadanya adalah hal yang tak ternilai. Baginya, cinta adalah sesuatu yang jauh lebih berarti daripada semua catatan yang dingin dan abadi itu.
Saat ia melangkah pergi, hatinya dipenuhi oleh pemahaman baru. Ia sadar bahwa untuk memahami dunia, kita harus mengalaminya, merasakannya, mencintainya—bukan sekadar mencatatnya dari jauh. Dalam kesunyian semesta, Pangeran kecil mencari kembali arti cinta dan makna dari apa yang ia tinggalkan. ***

Tinggalkan komentar