Hari itu, matahari Sahara menyala tanpa ampun, menorehkan garis-garis panas di atas pasir yang seakan tak berujung. Aku, seorang pilot, terdampar di tengah kesendirian yang meluas seperti cakrawala. Pesawatku yang patah sayapnya menjadi satu-satunya saksi bisu atas perjuanganku melawan keputusasaan. Tidak ada harapan pertolongan di tempat yang sepi ini—hanya aku, gurun yang diam, dan langit yang tanpa belas kasih.

Saat malam jatuh, aku mendengar suara yang melawan kehampaan. Sebuah suara kecil, bening, namun penuh keyakinan:

“Bisakah kau menggambar domba untukku?”

Aku tersentak. Di hadapanku berdiri seorang anak kecil, seolah muncul dari udara, seperti fatamorgana yang menjadi nyata. Rambutnya keemasan, seperti cahaya mentari yang menerobos awan. Tatapannya polos, namun dalam, seakan mampu menembus segala topeng yang aku kenakan. Ia berdiri tegak, tidak terganggu oleh sunyi yang mencekik di sekeliling kami, dan ia memandangku dengan keberanian seorang pengelana yang tahu tujuan hidupnya.

Aku terdiam. Bagaimana mungkin seorang anak kecil berada di tengah gurun ini, tanpa tanda-tanda kelelahan atau ketakutan? Tetapi ada sesuatu dalam dirinya—sesuatu yang membuatku ingin menanggalkan logika dan menerima keajaiban.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku akhirnya, dengan suara yang nyaris pecah oleh rasa ingin tahu dan kebingungan.

Namun, ia tidak menjawab pertanyaanku. Ia hanya mengulangi permintaannya, dengan kesabaran seorang anak kecil yang percaya bahwa dunianya akan selalu memberi jawaban:

“Bisakah kau menggambar domba untukku?”

Aku membuka buku catatan lama, tangan gemetar menyusuri garis-garis kasar dari pensilku. Sudah lama aku berhenti menggambar, berhenti percaya pada dunia yang dilihat melalui mata anak-anak. Aku mencoba menggambar domba, tetapi tak satu pun memenuhi harapannya. “Tidak, tidak. Domba ini terlalu lemah,” katanya sambil mengerutkan dahi. “Yang ini terlalu tua.”

Akhirnya, dengan putus asa, aku menggambar sebuah kotak sederhana dan berkata, “Dombamu ada di dalamnya.”

Ia tersenyum, senyum paling tulus yang pernah kulihat. “Inilah yang aku cari,” katanya dengan puas.

Di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang yang tampak lebih dekat daripada sebelumnya, aku menyadari sesuatu yang mendalam. Anak ini, Pangeran kecil ini, telah menghidupkan kembali sesuatu yang telah lama hilang dalam diriku: kemampuan untuk melihat dunia bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hati. Kehadirannya seperti sebuah oase di tengah gurun tandus, dan aku tahu, pertemuan ini akan mengubahku selamanya.

Di malam itu, aku tidak hanya bertemu seorang anak kecil—aku bertemu dengan bagian diriku yang telah lama terlupakan. ***

Tinggalkan komentar