Aku, sang narator, pernah menjadi seorang anak kecil yang dipenuhi dengan keajaiban imajinasi. Dunia di sekitarku adalah kanvas tanpa batas, tempat aku melukis mimpi-mimpi liar dengan pensil dan kertas. Ketika usiaku masih belia, aku menggambar seekor ular boa yang menelan seekor gajah—lukisan yang bagi anak kecil sepertiku adalah penggambaran sempurna dari misteri dan kekaguman dunia. Namun, harapanku untuk berbagi keajaiban ini dengan orang dewasa segera pupus.

“Ini topi,” mereka selalu berkata dengan ketidaktahuan yang menyakitkan. Tidak ada yang melihat gajah di dalam ular boa. Tidak ada yang memahami apa yang ingin kusampaikan.

Saat itu, aku belajar bahwa dunia orang dewasa adalah tempat di mana keajaiban sering kali mati sebelum sempat mekar. Imajinasi dihentikan oleh dinding realitas yang kaku. Mereka tidak ingin memikirkan apa yang tersembunyi di balik gambaranku. “Lebih baik kau belajar geografi, sejarah, atau aritmetika,” mereka selalu menasihati, seolah-olah dengan begitu aku akan menjadi bagian dari dunia mereka yang seragam dan teratur.

Aku menyerah. Aku melipat mimpiku seperti selembar kertas yang tak lagi diperlukan. Lalu aku tumbuh dewasa, seperti yang mereka inginkan, dan menjadi seorang pilot. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu ada sesuatu yang hilang—sebuah rasa ingin tahu dan kekaguman yang pernah membakar jiwaku.

Penerbangan membawaku ke berbagai tempat, tetapi tidak pernah ke tempat yang bisa mengembalikan keajaiban masa kecilku. Di udara, aku melayang di atas pegunungan, melintasi lautan, tetapi di dalam diriku, aku tetap terjebak dalam dunia orang dewasa yang dingin dan sunyi.

Dan kini, di gurun Sahara yang tandus ini, aku mendapati diriku sendirian setelah pesawatku jatuh. Tanpa teman, tanpa suara selain desiran angin, aku merasa kecil sekali di bawah bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya. Namun, bahkan di kesunyian ini, ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang akan mengembalikan imajinasi yang telah lama terkubur. Di sini, di tengah kehampaan gurun, aku bertemu seorang anak kecil dengan rambut sewarna matahari pagi. Ia datang tanpa peringatan, dan dengan satu pertanyaan sederhana, ia mengguncang duniaku:

“Bisakah kau menggambar domba untukku?” tanyanya.

Saat itu, aku tahu, sesuatu yang telah lama hilang dalam diriku mulai hidup kembali. Dunia orang dewasa mungkin telah mengubur imajinasiku, tetapi anak kecil ini—Pangeran kecil ini—akan mengajarkanku untuk melihat lagi dengan hati, bukan hanya dengan mata. ***

Tinggalkan komentar