Dalam esai keempat dan terakhir dari buku Totem and Taboo, Sigmund Freud menyelidiki konsep tabu dan ambivalensi emosi dalam masyarakat primitif dan modern. Freud berusaha menjelaskan bagaimana konsep tabu, yang melibatkan larangan keras terhadap tindakan atau pikiran tertentu, mencerminkan dorongan dan konflik batin manusia. Dengan menggabungkan teori psikoanalitik dan antropologi, Freud menyoroti bagaimana manusia memiliki hubungan emosional yang ambivalen terhadap objek atau tindakan yang mereka hormati dan takuti. Artikel ini merangkum gagasan utama Freud tentang tabu, ambivalensi emosi, dan dampaknya terhadap perilaku sosial serta struktur moral dalam masyarakat.
Apa Itu Tabu?
Dalam esai ini, Freud mendefinisikan tabu sebagai larangan keras terhadap tindakan atau pikiran tertentu yang diyakini dapat mendatangkan bahaya bagi individu atau masyarakat. Tabu dalam masyarakat primitif biasanya melarang kontak atau tindakan yang dianggap tidak suci atau berbahaya. Tindakan-tindakan ini tidak hanya dilarang, tetapi juga sering kali menimbulkan ketakutan yang mendalam. Jika larangan tersebut dilanggar, pelaku dianggap menghadapi konsekuensi yang serius, baik dari sisi sosial maupun dari sisi spiritual.
Menurut Freud, tabu adalah bentuk larangan sosial yang sangat kuat karena menggabungkan elemen ketakutan dan penghormatan sekaligus. Freud melihat bahwa di balik larangan ini, ada dorongan tersembunyi dalam diri manusia yang sebenarnya ingin melanggar tabu tersebut, meskipun mereka juga takut pada konsekuensinya. Fenomena ini yang Freud sebut sebagai “ambivalensi emosi,” yang menjadi dasar psikologis di balik konsep tabu.
Ambivalensi Emosi: Ketertarikan dan Ketakutan yang Bersamaan
Freud menjelaskan bahwa manusia memiliki perasaan ambivalen terhadap objek atau tindakan yang dianggap tabu. Ambivalensi emosi adalah keadaan di mana individu merasakan dorongan yang bertentangan: di satu sisi mereka menghormati dan menghindari, tetapi di sisi lain mereka merasa tertarik dan ingin melanggar larangan tersebut. Ambivalensi ini mencerminkan konflik internal antara keinginan bawah sadar manusia untuk melanggar norma sosial dan rasa takut terhadap hukuman atau kutukan yang mungkin mengikuti.
Misalnya, dalam banyak budaya, tabu terkait dengan kematian sering kali diikuti oleh ritual dan larangan tertentu. Orang-orang mungkin merasa takut menyebut kematian secara langsung atau melakukan kontak dengan hal-hal yang berkaitan dengan kematian, tetapi pada saat yang sama, mereka juga memiliki rasa penasaran dan ketertarikan terhadap misteri di baliknya. Bagi Freud, ambivalensi ini merupakan cerminan dari konflik batin manusia, yang merasa tertarik pada hal-hal yang terlarang, tetapi juga merasa takut terhadap akibatnya.
Ambivalensi emosi ini tidak hanya berlaku pada tabu dalam masyarakat primitif tetapi juga hadir dalam budaya modern, seperti larangan moral terhadap tindakan tertentu yang dianggap tidak pantas atau tidak bermoral. Freud berpendapat bahwa dalam setiap tabu, ada dorongan kuat untuk melanggarnya yang ditekan oleh rasa takut dan rasa bersalah yang mendalam.
Tabu dalam Keluarga: Hubungan Antara Anak dan Orang Tua
Freud melangkah lebih jauh dengan menganalisis bagaimana tabu muncul dalam struktur keluarga, terutama dalam hubungan antara anak dan orang tua. Menurut Freud, banyak larangan sosial dan moral berasal dari konflik emosional yang mendalam antara anak dan orang tua. Misalnya, anak-anak mungkin merasakan dorongan yang berlawanan terhadap figur orang tua: di satu sisi mereka mencintai dan menghormati orang tua mereka, tetapi di sisi lain, mereka juga merasa ingin memberontak atau bahkan merasa marah terhadap mereka.
Freud melihat dinamika ini dalam konsep “Kompleks Oedipus,” di mana anak laki-laki merasa tertarik kepada ibu mereka tetapi pada saat yang sama memiliki perasaan bersaing dan marah terhadap ayah mereka. Kompleks ini mencerminkan ambivalensi emosional yang mendasar, di mana dorongan kasih sayang bercampur dengan perasaan yang berlawanan. Dalam konteks tabu, Freud berpendapat bahwa larangan sosial yang melarang tindakan tertentu dalam keluarga, seperti inses, adalah cara untuk mengendalikan dan menekan dorongan-dorongan bawah sadar ini.
Dengan demikian, tabu yang melarang inses atau tindakan melawan otoritas dalam keluarga bukan hanya larangan sosial, tetapi juga bentuk represi psikologis yang melindungi keseimbangan emosional individu dan menjaga ketertiban sosial. Tabu ini membantu individu mengendalikan emosi yang bertentangan dan mencegah konflik terbuka dalam hubungan keluarga.
Tabu dan Rasa Bersalah
Freud juga menghubungkan konsep tabu dengan rasa bersalah, di mana ia melihat bahwa pelanggaran tabu sering kali menyebabkan perasaan bersalah yang mendalam dalam diri individu. Dalam masyarakat primitif, pelanggaran tabu dianggap mendatangkan hukuman supernatural atau kutukan, yang menunjukkan bagaimana rasa takut terhadap pelanggaran tabu mengakar dalam alam bawah sadar manusia. Freud berpendapat bahwa perasaan bersalah ini muncul karena manusia sadar akan keinginan mereka untuk melanggar norma-norma sosial yang ditegakkan oleh tabu, meskipun keinginan tersebut ditolak oleh kesadaran moral mereka.
Rasa bersalah yang dihasilkan dari pelanggaran tabu kemudian memotivasi individu untuk mempertahankan norma-norma sosial dan moral yang ada dalam masyarakat. Menurut Freud, rasa bersalah ini berfungsi sebagai kontrol internal yang kuat, yang membuat individu enggan untuk melanggar aturan atau larangan sosial yang telah ditetapkan. Ini menciptakan mekanisme represi yang kuat dalam diri individu, di mana mereka menekan dorongan bawah sadar yang ingin melanggar tabu demi menjaga keseimbangan moral dan sosial.
Tabu dalam Masyarakat Modern
Meskipun tabu adalah fenomena yang dominan dalam masyarakat primitif, Freud menunjukkan bahwa konsep ini masih relevan dalam masyarakat modern, meskipun dalam bentuk yang lebih halus. Banyak tindakan atau pikiran dalam masyarakat modern yang dianggap “tidak pantas” atau “tidak bermoral” pada dasarnya merupakan bentuk tabu. Misalnya, ada tabu yang terkait dengan pembicaraan tentang seksualitas, kematian, atau penyakit mental di banyak budaya modern. Individu yang melanggar tabu ini sering kali menghadapi stigma sosial atau merasa bersalah, meskipun mereka tidak melanggar hukum secara eksplisit.
Freud menilai bahwa banyak norma sosial modern yang memiliki akar dalam konsep tabu, yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan emosional dan sosial di masyarakat. Bahkan dalam konteks hukum, banyak aturan yang mengatur perilaku sosial didasarkan pada larangan-larangan moral yang tidak tertulis. Ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat modern memiliki sistem hukum yang jelas, norma-norma yang tidak tertulis dalam bentuk tabu tetap berperan dalam mengendalikan perilaku individu.
Tabu sebagai Dasar dari Sistem Moralitas
Freud melihat tabu sebagai fondasi dari sistem moralitas dalam masyarakat. Dengan adanya tabu, masyarakat menciptakan struktur moral yang mengatur perilaku individu dan melindungi nilai-nilai sosial yang penting. Tabu, dengan ambivalensi emosionalnya, menunjukkan bahwa aturan moral tidak hanya bersifat eksternal, tetapi juga internal dalam bentuk rasa bersalah dan ketakutan yang mendalam terhadap pelanggaran.
Dalam pandangan Freud, tabu membantu individu memahami batasan moral yang harus mereka hormati, dan hal ini menjadi dasar dari norma-norma moral yang lebih kompleks. Dengan kata lain, larangan-larangan yang bersumber dari tabu membantu membentuk kerangka moral dalam masyarakat yang lebih besar. Ini juga menunjukkan bahwa moralitas bukan hanya hasil dari pendidikan atau pengaruh eksternal, tetapi juga merupakan ekspresi dari konflik internal yang dialami oleh individu dalam menghadapi dorongan bawah sadar mereka.
Kesimpulan: Tabu dan Ambivalensi Emosi sebagai Pilar Psikologi Sosial
Dalam esai keempat dari Totem and Taboo, Freud menggambarkan tabu sebagai larangan sosial yang mencerminkan konflik batin manusia antara keinginan untuk melanggar aturan dan rasa takut terhadap konsekuensi yang mungkin mengikuti. Melalui konsep ambivalensi emosi, Freud menunjukkan bahwa manusia memiliki perasaan yang saling bertentangan terhadap objek atau tindakan yang dianggap tabu, yang mencerminkan dorongan bawah sadar yang ditekan demi menjaga ketertiban sosial.
Freud juga menunjukkan bahwa tabu tidak hanya berfungsi untuk mengatur perilaku sosial, tetapi juga menjadi dasar dari norma moral dan hukum dalam masyarakat. Tabu membantu individu untuk menginternalisasi nilai-nilai sosial, sehingga menciptakan struktur moral yang kuat dan stabil dalam masyarakat.
Esai ini memberikan wawasan tentang bagaimana larangan-larangan sosial yang mendalam seperti tabu memainkan peran penting dalam membentuk perilaku dan moralitas manusia, baik dalam masyarakat primitif maupun modern. Freud memperlihatkan bahwa konsep tabu mencerminkan konflik internal manusia antara dorongan primal mereka dan kebutuhan untuk hidup harmonis dalam masyarakat. Dengan demikian, Totem and Taboo tidak hanya menyoroti asal-usul norma sosial dan moral, tetapi juga menyoroti dinamika psikologis yang mendasari perilaku manusia.

Tinggalkan komentar